Oleh : Ketua Komisi Pendidikan dan Kebudayaan PB HMI, Fahru Rizal Rustam, S.Pd. M.Pd
Note Online — Sepekan ini menghabiskan waktu memulung hikmah dari kaum intelektual.
Berdialektika dengan mahasiswa memang penuh drama, cerita, dan kenangan.
Kaum muda memang selalu identik dengan intelektualisme, selalu menumbuhkan tradisi intelektual.
Sebuah Tradisi itu di antaranya, membaca, berdiskusi, menulis, dan beraksi. Ahli bahasa mengatakan menulis adalah mengikat makna. Artinya, dengan menulis kita dapat mengkristalkan apa yang kita baca dan diskusikan.
Kondisi mahasiswa didukung oleh perguruan tinggi sebagai ‘sarang’ para intelektual untuk mengasah dan melatih diri.
Perguruan tinggi yang bersifat industrialis, hanya menghasilkan lulusan-lulusan untuk mengisi keperluan dunia pasar, tentunya akan jauh dari cita-cita melahirkan intelektual.
Membincang kaum muda kita lebih suka melihat sisi kelam kaum muda tapi cacat melihat potensi kaum muda.
Persepsi tersebut harus dirubah oleh kaum muda itu sendiri dengan menelurkan karya nyata.
Sehingga persepsinya berubah menjadi kaum muda adlh aset dan kekuatan masa depan.
Indonesia butuh anak muda karena sejarah bangsa ini adalah sejarah anak muda. Bangsa ini didirikan oleh anak muda. Anak muda yang berani melawan arus, berani keluar dari zona nyaman dan selalu menjadi “berita buruk” bagi pemimpin dzalim.
Meminjam kata bung Karno, Kita jangan mewarisi abunya sumpah pemuda, tapi kita harus mewarisi apinya sumpah pemuda.
Kaum muda sebagai elemen penting masyarakat dan bangsa perlu mempertegas kembali peran dan posisinya. Kaum muda, dalam hal ini mahasiswa, harus banyak berbenah dan menguatkan nalarnya dalam melihat dan merespons situasi yang terjadi di lingkungannya (kampus dan masyarakat).
Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali (Tan Malaka).
Kaum muda harus selalu berpikir kritis dan jangan bungkam dengan kondisi yang tak adil karena kalian tidak jomblo terus-menerus, anak cucumu yang akan merasakan dampaknya nanti.
Jika hidup sekedar hidup, babi hutan juga hidup. Jika bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja (Buya Hamka). Percaya atau tidak, kegigihanmu hari ini adalah pesan kehormatan yang disampaikan kepada orang lain tanpa suara atau kalimat.
Bukan tampangmu yang membuatmu dikenang. Bukan ucapanmu yang membuatmu bijak. Tapi pergerakanmulah yang membuatmu bermakna.
Terlalu sedikit yang bisa saya diskusikan dengan mereka tapi terlalu banyak cerita yang bisa saya kenang.
Terima kasih dialektikanya kaum intelekt.
Komentar